Budaya
Pulang Mudik
Pada tugas Ilmu Sosial Dasar (Softskill) yang ke 3, Saya
ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan budaya pulang mudik dan bagaimana
masyarakat Indonesia bisa menjalankan-nya serta apa dampak positip dan dampak
negatip dari budaya pulang mudik itu sendiri. Pertama saya akan menjelaskan
sejarah dari mudik itu sendiri.
Idul Fitri, Lebaran,
Eid Mubarak, dan sejumlah aneka nama lain disematkan berbagai bangsa untuk
menandai berakhirnya bulan suci Ramadan di dunia. Inilah hari dimana umat
muslim salat bersama di pagi hari dan kemudian bersilaturahmi saling bermaafan.
Tradisi mudik menjadi sangat fenomenal karena dilakukan oleh ribuan orang
bahkan jutaan masyarakat indonesia. Sehingga tradisi ini menjadi sebuah sorotan
dan menjadi tradisi khas di Indonesia.
Pada umumnya
masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke kampung
halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang dihadapinya
untuk mudik lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kareta, berjubel di bis,
dan kemacetan panjang di perjalanan. Begitu juga kalau memakai sepeda motor
dengan resiko kepanasan dan kehujanan. Semua itu dilakukan dalam rangka
merayakan hari Lebaran di kampung halaman, sekaligus untuk ajang silaturahmi
bersama sanak-keluarga.
Mudik sudah
menjadi tradisi dikala lebaran. Jutaan masyarakat Indonesia yang merantau
berbondong-bondong pulang kampung. Mudik atau pulang kampung adalah hal
yang dinantikan dan sekaligus merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri,
karena mereka senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal yaitu kampung
halaman serta kangen akan kasih sayang dan belaian kasih kedua orang tua
tercinta.
Makna Mudik
Mudik bermakna pergi ke
“udik” atau pulang ke kampung halaman. Setidaknya begitulah seperti yang
disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan
menurut pengertian Wikipedia berbahasa Indonesia, mudik adalah kegiatan
perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari
bahasa jawa “Mulih Dhisik” yang artinya pulang dulu (Wikipedia). Istilah mudik mengalami
sinkronisasi dengan istilah Idul Fitri. Ia lebih ditekankan pemaknaannya pada
waktu menjelang idul fitri. Padahal selain idul fitri pun orang yang kembali ke
kampung halaman tetap saja disebut mudik juga.
Tradisi mudik
yang selalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi awal pertengahan dasawarsa
1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah satu kota besar
di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan
Gubernur Ali Sodikin (1966-1977), berhasil disulap menjadi kota Metropolitan.
Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma
menjadi kota impian, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik
yang di kampung tidak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Lebih
dari 80% para urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Di
Jakarta eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas
keberadaan mereka juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya kehadiran mereka di
Jakarta akan dapat memenuhi harapan hidupnya.
Dampak Negatif Mudik
Pembangunan
perekonomian di Indonesia belum menuai hasil yang maksimal , hal ini terbukti
banyaknya para pemudik mengapa demikian ?
Karena pembangunan di
Indonesia tidak di imbangi dengan pemerataan akibatnya banyak orang
yang bekerja di Ibukota Negara yaitu di daerah Jakarta, karena lapangan
pekerjaan banyak berada di ibukota dan di daerah orang sulit mendapatkan
pekerjaan karena sedikitnya lapangan pekerjaan dari pada di ibukota, padahal
pekerjaan sangatlah penting untuk menopang biaya hidup yang kian hari kian
berat karena naiknya harga harga kebutuhan hidup, dan pemerintah kurang
memperhatikan hal itu akibatnya pemerataan penduduk tidak berhasil , sebagai
contoh banyaknya penduduk Indonesia yang mencari peruntungan di Ibukota atau
kota kota besar padahal banyak dari mereka tidak atau belum mempunyai skill
untuk bekerja di kota biasanya di sektor industri atau yang lainnya dan itu
mengakibatkan banyak pengangguran , dari pengangguran dalam menimbulkan
kriminalitas kriminalitas terjadi karena desakan kebutuhan hidup. Melihat
banyaknya orang yang berbondong-bondong mudik,
sebenarnya sekaligus
menelanjangi fakta kesenjangan antara desa dan kota. Ini tak terlepas dari
adanya dikotomi pemahaman yang terdistorsi tentang makna maju dan tertinggal.
Pembangunan yang lebih menitikberatkan pada perkotaan kemudian secara tidak
sengaja menimbulkan anggapan bahwa kota adalah lambang kemakmuran dan perdesaan
sebagai simbol keterbelakangan. Padahal, belum tentu seseorang tidak bisa
sukses di desa.
Desa kemudian menjadi
anak tiri pembangunan sehingga jarang mendapat sentuhan perhatian kasih sayang
pemerintah. Kota lalu menjelma menjadi surga pemikat yang menjanjikan kemapanan
ekonomi. Tahun 2008, dunia mencatat lembaran sejarah baru. Untuk pertama
kalinya lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi hidup di wilayah
perkotaan. Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama terjadi di negara
berkembang (State of World Population 2007).
Karena pertumbuhan
ekonomi yang tidak merata, timbul fenomena urbanisasi. Perpindahan penduduk
desa ke kota ini kemudian dijembatani pemudik yang pulang kampung. Tak jarang
kita lihat, pemudik kemudian membawa sanak saudaranya untuk mengais rezeki di
kota. Penduduk desa kemudian terpesona kemilau kota yang melekat dalam diri
rekan-rekannya yang merantau di kota. Berdasarkan data sensus penduduk 1980,
1990, dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di Indonesia yang
relatif mengalami peningkatan. Secara nasional, terjadi peningkatan
berturut-turut sebanyak 22,3% pada 1980, menjadi 30,9% pada 1990, meningkat
34,3% pada 1994, dan menjadi 42,0% pada 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa
selama dua puluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota mencapai
lebih dari 163% secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta
jiwa pada 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada 2000 atau secara proporsi dari
22,3% pada 1980 menjadi 42,0% pada 2000. (Litbang Ketransmigrasian, 2003).
Selama desa tidak
dianggap menarik sebagai penjamin kesejahteraan, urbanisasi akan terus terjadi.
Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk
merestrukturisasi sentralisme pembangunan kota. Pemerintah harus mengubah image
dan stigma desa menjadi daerah yang berbeda dengan kota dari segi spesialisasi.
Karena kebanyakan motif urbanisasi adalah ekonomi, desa juga harus bisa
membendung urbanisasi melalui penyediaan lapangan kerja dan sumber-sumber
ekonomi. Desa yang dikelola melalui potensi perdesaan yang menjanjikan
pendapatan tinggi akan meminimalisasi urbanisasi.
Pemerataan pembangunan
jika diartikan sebagai menjiplak kota ke desa sangatlah sulit dilakukan. Untuk
menyiasatinya kita bisa melakukan segregasi yang berarti konsentrasi suatu tipe
kelompok orang atau kegiatan tertentu pada suatu wilayah tertentu. Kota tidak
harus menjadi pusat segalanya, namun harus membagi pusat-pusat kegiatan yang
bisa dibangun di desa. Semisal daerah hunian, pariwisata, perhotelan,
pusat-pusat perdagangan pertanian yang tidak boleh dimonopoli oleh kota
sehingga penyebaran pusat-pusat aktivitas menjadi lebih merata.
Di samping itu, salah
satu penyebab desa tidak menjadi tujuan investasi adalah pembangunan
infrastruktur yang minim. Untuk mendukung pusat-pusat aktivitas tadi,
infrastruktur seperti jalan, air bersih, transportasi, jembatan, listrik harus
dipersiapkan.Kota juga harus memiliki manajemen urbanisasi.
Lebaran adalah
momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari lebaran ada dimensi keagamaan,
ada legitimasi seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah.
Mudik ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh
legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya.
Itulah awal mula pulang
kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Jadi
sesungguhnya, tradisi mudik lebih disebabkan oleh problem sosial dan sama
sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Sebagian besar para
pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin menunjukkan
kepada masyarakat udiknya seolah-olah di Jakarta mereka telah mencapai sukses.
Dampak Positif Mudik.
Mudik Lebaran, di samping menimbulkan dampak negatif, juga banyak dampak positifnya. Pertama, dampak ekonomi. Mudik para perantau telah menimbulkan dampak positif bagi ekonomi di kampung halaman. Mereka pulang dengan membawa uang dan berbelanja telah mendorong perputaran ekonomi yang tinggi di kampung, sehingga para petani, nelayan dan pemerintah daerah mendapat manfaat ekonomi. Mereka menyewa hotel dan penginapan, telah mendorong kemajuan kampung halaman karena membuka dan memajukan bisnis penginapan dan hotel. Belum lagi, pemudik memberi sedekah, zakat fitrah dan zakat harta (mal) kepada keluarga dan penduduk di kampung halaman mereka.
Kedua, silaturahim (hubungan kasih sayang) antara pemudik dan penduduk kampung terbangun kembali, yang selama hampir satu tahun tidak pernah bertemu. Ini sangat positif untuk memelihara, merawat dan menjaga bangunan kebersamaan satu kampung.
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar